Senin, 03 Januari 2011

Tradisi Penerjemahan & Jaringan Kebudayaan (keilmuan) Timur-Barat


Penerjemahan sering juga disebut penukilan, pengalihan bahasa dalam tradisi keilmuan dan berbagai bidangnya dari bahasa asing kepada bahasa Arab untuk kepentingan kepustakaan Islam. Tradisi ini berbeda dengan tradisi pengkisahan, periwayatan dan pencatatan yang sebelumnya berkembang dalam masyarakat Muslim Arab. Tradisi penerjemahan adalah pengadopsian keilmuan dari luar Arab (Yunani, Persia, Romawi, India dll.) melalui kreatifitas pengalihan bahasa, sehingga terjadi transfer ilmu pengetahuan dan kebudayaan melalui bahasa Arab untuk kepentingan khazanah keilmuan dalam daulah Islam. Semua peradaban besar di Timur melakukan proses ini, baik Daulah Abbasiyah, Daulah Bani Umayyah (di Syiria dan Andalusia), bahkan Kerajaan Persia sebelum Islam. Daulah Bani Daulah Abbasiyah, semenjak masa Khalifah al-Mansur telah menggalakkan tradisi ini, dengan penekanan pada filsafat dan kedokteran.

Meskipun awal tradisi penerjemahan kitab-kitab dan buku-buku Yunani ke dalam bahas Arab masa Daulah Abbasiyah telah dimulai sejak masa Khalifah ke dua, al-Mansur, (136 – 148 H.). Beliau telah memulai aktifitas penerjemahan dan pengoleksian buku-buku Yunani dan Persia. Selain Filsafat Yunani, kesusasteraan dan kedokteran merupakan bidang keilmuan yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Persia. Namun kemajuannya terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan puncaknya terjadi pada Khalifah al-Ma’mun. Pada masa keduanya perbagai ilmu pengetahuan baik dari Yunani, Persia, Romawi maupun Syirian-Nestorian ditransfer ke daulah Islam melalui penerjemahan.

Daulah Bani Umayyah, baik yang di Timur (Syiria) maupun yang di Barat (Andalusia) sama-sama menjadikan tradisi penerjemahan sebagai sarana pengembangan keilmuan dan kepustakaan. Sebenarnya daulah ini (khususnya yang di Syiria) telah lebih dahulu melakukan tradisi penerjemahan ini, yaitu semenjak sekitar paruh kedua abad ke-1 H./7 M., jauh sebelum masa daulah Abbasiyah, melalui inisiatif Khalid Bin Yazid Bin Mu’awiyah (60 – 63 H.), yang telah mempeloporinya dengan menerjemahkan buku-buku dari Filsafat Hellenistik dari Yunani seperti yang telah diulas dalam makalah sebelumnya. Jauh sebelum Daulah Bani Umayyah, Kerajaan (Kekaisaran) Persia telah lebih dahulu melakukan tradisi penerjemahan ini, yaitu pada masa Raja Anushirwan, yang terkenal cinta ilmu, adil dan bijak. Akademi Jundi Shapur adalah sebuah akademi yang menjadi pusat keilmuan Persia (Sassanian) pada masa kejayaannya sebelum kedatangan agama Islam.

Tradisi penerjemahan dilakukan di bawah sebuah tim yang diketuai oleh seorang ketua /staf ahli penerjemah. Pada masa Khalifah al-Mansur, staf ahli penerjemah yang dipilih dari tenaga profesional dan diangkat langsung oleh khalifah. Di bawahnya terdapat beberapa orang pembantu penerjemahan. Adakalanya staf ahli penerjemah juga seorang direktur perpustakaan, namun pada umumnya mereka mengurusi buku-buku yang diimpor dari luar negara untuk dialih bahasakan ke dalam bahasa Arab. Tidak jarang pula seorang staf ahli penerjemah menjadi agen resmi pemerintah untuk mendapatkan buku-buku dari luar negeri (Arab), sehingga sangat mungkin jaringannya luar negerinya cukup luas. Demikian juga dengan direktur perpustakaan. Namun di luar peran keduanya, adakalanya buku-buku kepustakaan dari luar negeri diperoleh melalui delegasi yang ditugaskan oleh khalifah untuk memperoleh buku-buku yang diperlukan dari luar. Sebagaimana dinyatakan oleh Pedersen, Khalifah al-Ma’mun, memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan Raja Byzantium, sehingga delegasi yang diutusnya ke Yunani berhasil membawa sejumlah buku Yunani untuk diterjemahkan. Demikian juga diriwayatkan bahwa Khalifah al-Ma’mun memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Romawi. Hubungan yang baik di antara kedua kerajaan ini, misalnya ditunjukkan oleh Khalifah al-Ma’mun dengan sering melakukan hubungan korespondensi (surat-menyurat) kepada Raja Romawi untuk kepentingan penerjemahan buku-buku kuno Romawi yang tersimpan dalam kepustakaan Romawi untuk dialih-bahasakan ke dalam bahasa Arab. Raja Romawi kemudian meresponnya secara positif, meskipun sebelumnya tidak diperkenankan, dengan memberikan ijin penerjemahan buku-buku yang diperlukannya.

Sumber:

Mehdi Nekosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat ; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hlm. 252-253.

J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, hlm. 150.

Mahir Hamadah, al-Maktabat fi al-Islam, hlm. 59.

Tidak ada komentar: