Senin, 24 Januari 2011
Kerajaan Mughal di India
a. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kemiliteran sehingga tidak bisa memantaugerak langkah tentara Inggris di wilayah-wilayah pantai. Begitu pula kekuatanpasukan daratnya semakin kurang handal, teruatama dalam mengoperasikapersenjataan buatannya sendiri.
b. Dekadensi moral dan hidup mewah di kalangan pembesar kerajaan yangmengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang.
c. Terlampau kasarnya sikap Aurangzeb dalam melaksanakan ide-idenya yangmenyebabkan terjadinya konplik antara agama, misalnya aliran Syikh, Syi’ah dan sunni.
d. Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir kekuasaan Mughal adalahorang-orang yang lemah dalam bidang kepemimpinan
Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan Usmani
a.Budaya pungli
Setiap jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak memberikan jabatan tersebut, sehingga menyebabkan dekadensi moral dan kondisi para pejabat semakin rapuh.
b. Pemberontakan tentara Jenissari (pasukan khusus kerajaan Usmani).
Kemajuan ekspansi kerajan Usmani adalah juga karena peranan yang besar dari tentara Jenissari, maka dapat dibayangkan kalau tentara Jenissari itu sendiri akhirnya memberontak kepada pemerintah.
c. Kemorosotan ekonomi
Perang yang berkepanjangan, menghabiskan uang dan perekonomian Negara merosot, sementara belanja Negara sangat besar, termasuk untuk biaya perang.
d. Wilayah kekuasaan yang sangat luas.
Terlalu luasnya wilayah kekuasaan Usmani sangat sulit untuk dikontrol. Dipihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehinga mereka terlibat perang terus menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun Negara.
e. Kelemahan penguasa
Sepeninggal Sulaiman al-Qanuni, kerajaan Usmani diperintah oleh Sultan–sultan yang lemah terutama dalam bidang kepemimpinan. Akhirnya pemerintahan menjadi kacau.
Sejarah Peradaban Islam
Menurut Ibnu Khaldun, keterbelakangan bangsa Arab saat itu disebabkan kondisi geografis wilayah yang mendominisasi padang pasir dari pada lahan-lahan subur. Wilayah-wilayah padang pasir menciptakan masyarakat pengembara (nomaden). Solidaritas sosial masyarakat pengembara menyatukan masyarakat-masyarakat kecil yang diawali dari hubungan darah yang menjadi satu suku .
Ekspansi bangsa Arab ke luar Jazirah Arab melahirkan imperium baru, wilayah yang semakin luas, dan mulailah terjadi akulturasi budaya antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa dalam wilayah ekspansinya terjalin. Pada saat itu, di sekitar Jazirah Arab terdapat dua kekaisaran besar yakni Kekaisaran SSaniah di Persia dan Kekaisaran Romawi di Bezantium, sekarang Turki .
Melalui jalur kekaisaran Sassaniah dan Romawi inilah umat Islam memformulasikan keilmuannya. Bersamaan dengan penaklukan umat Islam pada kekaisaran Sassaniah dan Romawi, juga dikuasai sejumlah akademi penting, misalnya pusat pendidikan berbahasa Suryani yang terdapat di Edessa, Nisibis, Resain, Homs dan Balbeek . Puncak keilmuan Islam berlangsung pada masa Bani Abbasiyah khususnya dalam pemerintahan Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Makmun. Lebih dari satu abad (632-754 M), umat Islam beradaptasi dengan setiap kebuadyaan di luar budaya dirinya. Adabtasi ini meliputi adaptasi bahasa, bentuk adminisrasi pemerintahan, manajemen Negara, bahkan system monarki yang disadur oleh Mu’awiyah diduga berasal dari konsep kerajaan yang berkembang di Romawi .
Meskipun akulturasi budaya telah terjadi sejak masa Khulafa’ al-Rasidun, transformasi keilmuan Yunani dan Persia oleh berbagai kalangan mufakat dimulai pada masa Abbasiyah, yakni ketika pusat pemerintahan dialihkan Khalifah al-Mansur (754-775 M) ke Baghdad, dekat dengan ibu kota Persia. Puncak masa keemasan ilmu pengetahuan Islam itu sendiri hakekatnya di bangun oleh kholifah –kholifah sesudah al-Mansyur, yaitu al-Mahdi (775-785M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813 -833 M) al-Mu’tashim (833-842 M) .
Pada masa Daulah Abbasiyah, keluarga Barmaki, yang merupakan perdana menteri bagi para Khalifah Abbasiyah, juga memiliki perpustakaan pribadi. Demikian juga pada masa Daulah Fatimiyah, banyak sekali rakyat biasa atau tokoh agama tertentu (Yahudi dan Nasrani) memiliki perpustakaan sendiri. Perpustakan pribadi berkembang meluas pada masa kerajaan-kerajaan kecil pasca jatuhnya Daulah Abbasiyah.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang perpustakaan Islam pada masa tiga kerajaan besar pasca keruntuhan kekholifahan Abassiyah, yaitu masa kerajaan usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughol di India.
Pada masa pertengahan muncul sejumlah nama-nama besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, meskipun secara politik mengalami kemunduran atau kehancuran, akibat serangan bangsa Mongol dan Tartar. Nama-nama besar tersebut antara lain Omar khayyam, Jalaluddin Rumi, Avecinia, Farabi dan lain-lain.
Senin, 10 Januari 2011
Buku-Buku dari Timur Tengah Masuk ke Indonesia
a. Tasawuf
1. Tuhfah al-Wujud ila Ruh an Nabi karya Muhammad bin Fadlillah al-Burhanpuri.
2. ‘Itaf as-Yakki bi Syarah at-Tuhfah al-Mursalah ila an Nabi karya Ibrahim al-Kurani
3. Tazkirah bi Umur al-Akhirah karya al-Qurtubi.
4. Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali
5. Hikam karya Ibn Ata’illah as-Iskandari
6. Lujain ad-Dani fi Manaqib Sayyidi asy-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani karya Ja’far al-Barjanji.
b. Teologi
1. Ad-Durrat al-Fakhirah karya Nuruddin al-jami’.
2. Risalah fi al-Maujud karya Nuruddin al-Jami’
3. Kifayat al-‘Awwam karya al-Fadali
4. Qadha wa Qadar karya Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi
5. Al-Iman karya Ibn Taimiyah
c. Tafsir
1. Tafsir Jalalain karya Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli
2. Tafsir al-Munir karya Imam Nawawi
3. Tafsir Baidawi karya al-Baidawi
4. Tafsir Ibn Kasir karya Imam Abu al-Fida’ Ismail Ibn Kasir ad-Dimasqi
5. Tafsir fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Qutb
6. Tafsir al-Asas karya Sa’id Hawa
d. Akhlak
1. Taisir al-Khallaq ‘Ilm al-Akhlaq karya Hafiz Hasan al-Mas’udi
2. Wasaya al-Aba’ li al-Abna’ karya Muhammad Syakir
3. Tawakkal karya Yusuf Qardawi
e. Bahasa
1. Kitab Alfiyah karya Ibn Malik
2. Matan Alfiyah karya Syeikh Muhammad bin Malik Andalusi
3. An-Nahwu al-Wadih karya ‘Ali dan Mustafa Amin al-Jarimi
f. Hadis
1. Shahih Bukhari karya Imam Bukhari
2. Sahih Muslim karya Imam Muslim
3. Bulughul Maram karya Ibn hajar al-Asqalani
4. Durratun Nasihin karya Usman bin Hasan al-Khubuwi
5. Syarah Mukhtarul Hadis karya sayyid Ahmad al-Hasyimi
g. Fiqh
1. Bidayatul al-Hidayah karya Imam Ghazali
2. Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Ansari
3. Nazam as-Sullam al-Munawwaraq fi al-Mantiq karya Syeikh ‘Abdurrahman al-Ahdari.
4. Al-Mabadi’ al-Fiqhiyyah ‘ala Mazhab al-imam asy-Syafi’I karya ‘Umar ‘Abd. Al-Jabbar
5. Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd
Nama-Nama Transmiter Ilmu Pengetahuan Timur Tengah
a. Transmiter Abad ke-16-17
1. Hamzah Al-Fansuri (w.1590 M) dan Syamsuddin As-Sumartani (1575-1630)
2. Abdul Rau’uf As-Singkili (1615-1693 M)
3. Muhammad Yusuf Al-Makassari (1627-1699 M)
b. Transmiter Abad ke-18
1. Abdul As-Samad Al-Palimbani (1704-1789 M)
2. Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812 M)
c. Transmiter Abad ke -19
1. Syeikh Ahmad Khatib Sambas Ibn ‘Abdul Al-Gaffar (lahir 1805 M)
2. Syeikh Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M)
3. Muhammad Salih Bin “Umar As-Samarani (1820-1903 M)
4. Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1852-1915 M)
5. Syeikh Mahfudz At-Tirmasi (1869-1919 M)
6. Kyai Muhammad Khalil Bangkalan Madura (1819-1925 M)
d. Transmiter Abad ke-20
1. Haji Hasan Mustafa (1852-1930 M)
2. Tahir Jalaluddin (1869-1957 M)
3. Abdullah Ahmad (1878-1934 M)
4. KH. Ahmad Dahlan (lahir 1868 M)
5. KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947 M)
6. KH. Abdul Halim (lahir 1887 M)
7. KH. R. Mohammad Adnan (1889-1969 M)
8. Moenawar Chalil 91908-1961 M)
9. Alumni Timur Tengah misal, Dr. Harun Nasution, KH. Musthofa Bisri, Dr. Mukhtar yahya, dll.
Teori Masuknya Islam ke Indonesia
Kepastian mengenai kapan Islam pertama kali masuk ke Indonesia, dari mana dan siapa yang membawanya masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Sejumlah teori mengenai kedatangan Islam di Indonesia antara lain teori India, teori Arab, teori Cina, dan teori sufi.Teori India berpendapat bahwa asal Islam di Nusantara adalah anak benua India, bukan Persia atau Arabia. Diantara tokoh teori ini kebanyakan sarjana dari Belanda seperti Pijnapel , Snouck Hurgonje, dan J.P. Moquette . Menurut Pijnapel, Islam datang di Nusantara dibawa oleh orang-orang Arab bermazhab Syafi’I yang bermigrasi dan menetap di wilayah Gujarat dan Malabar India. Teori ini dikembangkan oleh Snouck Horgronje. Menurutnya, setelah Islam berpijak kokoh di beberapa pelabuhan anak benua India, banyak pedagang muslim yang berasal dari kota-kota pelabuhan anak benua India, banyak pedagang muslim yang berasal dari kota-kota pelabuhan itu datang ke Indonesia sebagi penyebar Islam pertama. Selanjutnya disusul oleh orang-orang Arab-kebanyakan keturunan Nabi Muhammad SAW karena menggunakan gelar syarif atau sayyid yang menyelesaikan penyebaran Islam di Indonesia. Bukti-bukti sejarah yang mendukung teori ini yaitu adanya batu nisan di Pasai tertanggal 17 Dzulhijjah 831 H/27 September 1428 M dan batu nisan Maulana Malik Ibrahim (w822 H/1419 M) di Gresik, sama jenisnya dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat.
Teori Arab dikemukakan oleh T.W. Arnold, Naquib al-Attas, dan keputusan seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia tahun 1963, 1978 dan 1980. Teori Arab berkesimpulan bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung oleh orang Arab. Bukti sejarah dalam teori ini adalah dokumen “Izdharul Haqq dan tazkirat Thabakat Jam’u salatin” bahwa kerajaan Islam Perlak didirikan tahun 225 H (abad ke-9), dan catatan Marcopolo tentang kerajaan Perlak.
Teori Sufi yang dikemukakan oleh A.H. Johns, sebagaimana dikutip Azzumardi Azra’ bahwa para sufi pengembaralah yang melakukan penyiaran Islam ke Indonesia dan berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk sejak abad 13. Berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, para sufi dapat mengawini puteri-puteri bangasawan, sehingga dapat memperpudah proses Islamisasi. Teori ke empat bahwa masuknya Islam ke Indonesia berasal dari Cina. Teori ini dikemukakan oleh Al-Hadad bahwa Islam yang masuk ke Nusantara adalah Islam yang telah melewati beberapa kota di sepanjang jalur Sutera, yakni dari Mekkah, kemudian ke Baghdad (Irak), Kabul (Afganistan) , Kasmir (India), Singkiang , Zaitun, Canton (Cina) dan kemudian baru masuk ke Nusantara.
Dari berbagai teori masuknya Islam ke Indonesia dapat dikatakan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia dalam sejarahnya tidak terlepas dari pengaruh Islam di Timur Tengah. Lebih dari itu bahwa dengan kemajuan teknologi dan informasi dewasa ini, fenomena atau wacana keilmuan Islam yang berkembang di Timur Tengah dapat dibaca “dirasakan” oleh masyarakat Indonesia, meskipun mungkin tidak tahu bahasa Arab. Hal ini dikarenakan buku-buku yang diterbitkan di Timur Tengah tidak lama kemudian juga diterbitkan oleh penerbit-penerbit Indonesia dalam edisi terjemahan.
Sumber:
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 3, 15
A. Hasjmy (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-Maarif, 1993), hlm. 52.
Sayyid Alwi Thahir al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh” (Jakarta : Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: S al-Mathba’ah al-Daimi, 1957), hlm. 48-49.
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004 (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 62.
Senin, 03 Januari 2011
Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia
1. Jalur Dakwah oleh Imigran Muslim
Peranan imigran muslim dalam proses awal transmisi pengetahuan keislaman Timur Tengah ke Nusantara memulai bentuknya secara formal pada masa Sultan Ri’ayat Syah (memerintah 1571-1579). Pada masanya ilmu-ilmu keislaman diajarkan oleh seorang ulama Mekkah, Muhammad Azhari. Kemudian pada tahun 1580-an sejumlah pendatang Arab seperti abu al-Khair bin Syeikh Ibn hajar dan Muhammad al-Yamani datang ke aceh yang berperan penting dalam transfer ilmu-ilmu keislaman sebagai guru. Sementara itu, Muhammad al-Hamid, paman Nuruddin ar-Raniri juga mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di Aceh pada tahun 1580-1583, dan juga tahun 1589-1604. Sedangkan imigran muslim yang berjasa besar dalam proses transmisi pengetahuan keislaman ke Indonesia adalah Nuruddin ar-Raniri (w. 1658). Beliau dilahirkan dikalangan kelurga Hadrami Gujarat Ahmadabad India.
2. Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan disini maksudnya semua aktifitas kependidikan, baik secara informal maupun formal, yang oleh para transmiter dijadikan sebagai sarana untuk mentransformasikan pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia. Biasanya para jamaah haji Indonesia tidak hanya semata-mata menunaikan ibadah haji, tetapi banyak jamaah haji yang menetap beberapa lama atau tahun untuk belajar agama di Mekah. Para Santri Indonesia yang menuntut Ilmu di Mekkah dan Madinah merupakan para transmiter yang sangat berjasa dalam menyebarkan pengetahuan keislaman Timur Tengah.
3. Jalur Penerjemahan
Akulturasi antar budaya melahirkan peradaban baru bagi masyarakat setempat. Demikian juga akulturasi budaya Arab dengan orang –orang yang melaksanakan ibadah haji dan belajar di Tanah Suci Mekkah, menginspirasi mereka untuk membawa kitab-kitab ataupun pengetahuan dari Mekah dan sekitarnya (Timur Tengah) untuk dijadikan acuan dalam proses belajar mengajar dunia pesantren di Indonesia. Sehingga muncullah kegiatan menerjemahkan teks-teks Arab oleh sejumlah ulama yang belajar di Mekah atau Timur Tengah. Hal ini berlangsung sejak abad ke-16 yang dipelopori oleh Abdul Rauf As-Singkili (1615-1693 M) hingga abad sekarang.
Masuknya naskah asli bahasa Arab ke Indonesia dilakukan oleh para jamaah haji dan mukimin Indonesia di Saudi Arabia. Mereka membawa buku-buku Timur Tengah, sebagian buku-buku itu dijadikan materi yang diajarkan di berbagai pesantren. Buku-buku tersebut kebanyakan karya ulama klasik yang berfaham Sunni, yang menjadi mazhab teologi yang dominan di Indonesia.
Di samping melalui para jamaah haji dan mukimin di Saudi Arabia dan Timur Tengah, buku-bukuTimur Tengah masuk ke Indonesia melalui agen penerbit Timur Tengah dan toko buku yang sengaja mengimpor buku-buku terbitan Timur Tengah. Buku-buku terbitan Dar al-Fikr Beirut dan beberapa penerbit Timur Tengah lainnya dapat di temukan disejumlah toko buku atau kitab. Di toko Asco dan Raja Murah di Pekalongan, toko buku di selatan Masjid Agung Kaliwungu Kendal, toko buku Salamun di pasar Tegalrejo Magelang, dan toko buku Beirut di jalan Timoho yang lokasinya tidak jauh dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Peranan alumni sejumlah perguruan tinggi Timur Tengah seperti Al-Azhar Kairo, Universitas Umm al-Qura’ Mekah, Universitas Khortum Sudan, dan lainnya juga sering membawa buku dari Timur Tengah, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Demikian juga dibeberapa perpustakaan perguruan tinggi Islam seperti UIN, IAIN, STAIN dan PTAIS, banyak mempunyai buku-buku terbitan Timur Tengah, baik didapatkan dari pembelian, maupun hibah.
Bahkan beberapa penerbit besar seperti Mizan, Gema Insani Press, Pustaka Al-Kausar dan lainnya mempunyai divisi khusus melakukan perburuan terhadap buku-buku Timur Tengah. Para penerbit mendatangi pameran buku yang diadakan di Timur Tengah dan membeli buku-buku yang dimungkinkan laku di Indonesia untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pada awalnya kegiatan penerjemahan dilakukan secara manual dengan tulisan tangan menggunakan Arab Pegon dan baru abad ke-19 mulai menggunakan teknologi percetakan mesin, itupun dengan mencetaknya di percetakan luar negeri, seperti Singapura dan Bombay India, seperti kitab matan Hikam dan Munjiyat yang diterjemahkan oleh Kyai Shaleh Darat dari Semarang.
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan kebutuhan akan buku-buku agama, maka penerbitan ulang kitab-kitab terbitan Timur Tengah dilakukan oleh penerbit-penerbit lokal seperti Nabhan di Surabaya, Toha Putra dan Al-Munawar di Semarang, Raja Murah di Pekalongan, Al-Ma’arif dan Bulan Bintang di Bandung,dan lain-lain.
4. Jalur Kerjasama Kelembagaan
Jalur kerjasama ini terjalin terutama setelah Indonesia Merdeka dengan pengiriman tenaga ahli oleh pihak Timur Tengah maupun pembukaan lembaga cabang di Indonesia. Bentuk kerjasama yang pertama pernah dibuat yaitu kerjasama antara IAIN Sunan Kalijaga dengan pihak Universitas Al-Azhar. Hal ini dapat dibuktikan adanya kesamaan nama-nama Fakultas yang ada sama dengan nama-nama Fakultas di Al-Azhar. Dalam Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960 pasal 2, secara tegas disebutkan”Institut Agama Islam Negeri tersebut bermaksud untuk memberi pengajaran Tinggi dan pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam”. Realisasi kerjasama kelembagaan antara IAIN dengan Al-Azhar dan Universitas lainnya di Timur Tengah, antara lain diwujudkan dengan pengiriman prof Dr. Ahmad Syalabi oleh Universitas Kairo ke PTAIN di Indonesia masa awal.
Adapun kerjasama dalam bentuk lembaga, yaitu pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta. Lembaga ini merupakan cabang dari Universitas King Abdul Aziz di Saudi Arabia. Mahasiswa di LIPIA mendapatkan beasiswa dengan tanpa dipungut beaya dengan tenaga pengajar sebagian besar dari Timur Tengah. Demikian juga di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) juga diselenggarakan kerjasama yang disebut Ma’had Ali sebagai model pendidikan khusus bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman tingkat akademis dengan sistem asrama.Sedangkan di Universitas Muhammadiyah Surakarta dinamakan “Ma’had Ali Bin Abi Thalib. Kedua lembaga tersebut didirikan mulai tahun 2004 dengan lembaga tinggi di Timur Tengah.
5. Jalur Media Masa dan Teknologi Informasi
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke- 20 komunitas Jawi di Mekah mulai tertarik dengan gagasan pembaharuan Islam di Mesir, bahkan beberapa di antaranya sengaja pindah ke Kairo untuk menuntut ilmu dan bersentuhan langsung dengan gagasan pembaharuan di sana, seperti Tahir Jalaluddin dan Harun Nasution di paruh abad ke-20. Mereka membawa jurnal Al-Manar (Kairo) dan Al-Imam (Singapura) untuk disebarluaskan ke Tanah Air.
Demikian juga pengetahuan keislaman juga disebarluaskan melalui teknologi informasi dan internet. Perusahaan sofware yang bernama Sakhr mengeluarkan berbagai produk keilmuan Islam seperti; 1. The Holy Qur’an yang berisi terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris dan Indonesia, dan kitab-kitab tafsir lainnya; 2. Al-Bayan, berisi program komputer yang menampilkan Sahih Muslim, Sahih Bukhari dan Mustalah al-Hadis yang dilengkapi terjemahan bahasa Inggris dan Melayu.
Di samping itu puluhan CD program dalam berbagai displin keilmuan Islam yang di keluarkan perusahaan sofware di Aman Yordania dengan dengan alamat website www.turath.com, antara lain; 1. Al-Mausu’ah az-ahabiyyah (1997) di bidang hadis berisi 200.000 hadis, 150.000 biografi singkat periwayat hadis dan status dari 80.000 buah hadis; 2. Maktabah al-Bait al-Muslim asy-Syamilah (1998) berisi kumpulan buku keislaman seperti buku-buku hadis, fiqh berbagai mazhab, akhlak dan lain-lain; 3. Al-Aqaid wa al-Milal (1998) berisi 100 buah buku di bidang teologi (kalam) dan lain-lain.
Sumber:
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004 (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 63.
Akh. Minhaji, “Transformasi IAIN Menjadi UIN: Sebuah Pengantar” dalam Jarot Wahyudi (ed), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. Viii.
Masuknya Islam ke Indonesia
Masuknya Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Demikian juga kondisi sosial politik daerah yang didatangi Islam waktu itu juga berlainan. Datangnya orang-orang Islam ke daerah-daerah yang baru disinggahi sama sekali belum memperlihatkan dampak atau pengaruh politik, karena pada awalnya mereka datang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan. Pada abad 7 sampai 8 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Hal itu erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci pelayaran dan perdagangan.
Kemajuan politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad 12 M, dan akhir abad 12 M kerajaan Sriwijaya mulai memasuki masa kemunduran di bidang politik dan ekonomi. Kemunduran Sriwijaya ini di percepat oleh usaha – usaha Kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan oleh para pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang muncul, dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan bercorak Islam, yaitu Kerajaan Samudera Pasai di Pesisir Timur Laut Aceh abad 13 M, dan diteruskan oleh Kerajaan Aceh Darussalam abad 15 M. Selanjutnya disusul kerajaan Islam di Jawa seperti Demak (abad 15-16 M), Pajang (abad 16 M), Mataram (abad 16 M), Cirebon (abad 16 M), Banten (abad 16 M), Banjar di Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, Ternate di Maluku, dan Goa di Sulawesi.
Sumber:
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 309. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 194, 205-224.
Perpustakaan Andalusia (Cordova)
Masa Daulah Bani Umayyah merupakan awal perkembangan kepustakaan Islam. Khizanah al-Kutub, meskipun masih terbatas dalam lingkup istana Daulah Bani Umayyah, telah cukup banyak mengoleksi buku-buku keagamaan, kesusasteraan, filsafat, kimia dan yang lainnya atas jasa Khalid Bin Yazid. Beliau telah membayar para penerjemah buku-buku Yunani dan buku-buku berbahasa asing lainnya ke dalam bahasa Arab.
Kepustakaan Islam di Cordova, Andalusia, Spanyol, tidak dapat dilepaskan juga dari perkembangan kepustakaan Islam di Syiria, disebabkan oleh tiga hal berikut. Pertama, karena pendiri kerajaannya, Abdurrahman al-Dakhil, berasal dari keturunan Bani Umayyah juga. Kedua, dalam mengembangkan dan memajukan kepustakaan Islam di Andalusia, Daulah Bani Umayyah II selalu melakukan hubungan dan memiliki jaringan keilmuan dan kebudayaan dengan Daulah Bani Umayyah I di Damaskus, Syiria dan di wilayah Arab (Timur) lainnya, seperti Baghdad, Irak. Ketiga, awal kemunculan dan perkembangan Daulah Bani Umayyah II di Andalusia, Spanyol juga ditandai oleh eksodus masyarakat Arab-Syiria secara massive yang melakukan imigrasi ke Andalusia. Selain itu, dalam kaitan dengan kepustakaan Islam, Andalusia memiliki hubungan lebih erat dengan Syiria dan dunia Timur (Arab) lainnya, seperti Baghdad, Iraq. Banyak sekali buku-buku kepustakaan di Andalusia yang diimpor dan berasal dari Syiria dan Iraq, meskipun Syiria lebih berperan banyak daripada Baghdad, Iraq, dalam pengayaan dan perbendaharaan buku-buku kepustakaan Andalusia.
Hubungan Cordova (Spanyol) dengan Dunia Timur (Arab), khususnya Syiria dan Iraq mengalami perkembangan pesat. Pemerintahan Bani Umayyah II banyak mengambil buku-buku, ilmu dan ilmuan dari Timur, demikian pula sebaliknya. Para pengembara dan para pencari ilmu serta para ilmuawan tidak sedikit yang ikut berhijrah dari negeri Timur (khususnya Arab, Syria & Iraq) ke Andalusia dan Cordova. Di Ibu Kota Daulah Bani Umayyah II, di bawah pemerintahan al-Hakam I, mereka menjadi penyebar ilmu, pengajar, penulis buku (pengarang), penjual (pebisnis) buku (kitab), sehingga hubungan dan jaringan keilmuan antara dunia Arab (Timur) dengan Spanyol, khususnya Cordova, Andalusia terjalin dengan baik dan menghasilkan banyak-karya-karya keilmuan yang banyak menjadi sumber-sumber kepustakaan Islam. Jaringan keilmuan melalui difusi kebudayaan, baik dengan cara melakukan imigrasi, pengembaraan, penyebaran ilmu melalui pendidikan, pengajaran dan penjualan buku-buku maupun hubungan politik dan diplomasi, menjadi media transformatif yang dinamis dan efektif dalam proses perkembangan lanjutan dan kemajuan kepustakaan Islam. Fenomena ini menunjukkan bahwa jaringan keilmuan pada masa Daulah Bani Umayyah II di Cordova, Andalusia Spanyol dibangun oleh berbagai segmen dan lapisan (strata) sosial dan multi etnis. Inilah yang kemudian menegaskan tesis bahwa tradisi kepustakaan Islam berkembang seiring dengan terjadinya difusi kebudayaan. Dalam kaitannya dengan difusi kebudayaan, tidak dapat diasumsikan satu entitas kebudayaan saja yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan Islam; ia berkembang karena pelbagai kebudayaan yang menyebar dan dinamis, meskipun boleh jadi dalam pelbagai kebudayaan itu ada satu entitas kebudayaan yang paling dominan, seperti budaya Islam atau Yunani atau Persia dan yang lainnya. Difusi kebudayaan itu diperkuat oleh motif kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dari berbagai segmen dan lapisan sosial tersebut, yang tidak hanya menjadikan buku sebagai sebuah industri ekonomi, tetapi aset kebudayaan dan peradaban Islam yang tinggi.
Pada masa ini, kepustakaan Islam tidak hanya berada di dalam istana kerajaan (daulah), tetapi juga menjamur di berbagai kota di Cordova, yang menunjukkan suatu perkembangan yang pesat dan kemajuan dalam kepustakaan Islam. Para ilmuwan Muslim seperti Ibn Hazm, menjadi pemilik perpustakaan pribadi yang mengoleksi banyak buku. Demikian juga para pengembara dan para pebisnis (penjual) buku. Mereka mengoleksi buku-buku kepustakaan yang baru bahkan paling langka dan sulit diperoleh di kepustakaan khalayak (publik) dan membangun bangunan perpustakaan dalam koleksi buku yang sangat banyak.
Hanya saja, dalam konteks perpustakaan pribadi ini tidak disebutkan mengenai sistem pengelolaan (mangment system), pengontrolan dan pegawai yang terlibat dalam pengelolaan serta sistem penggajian. Dalam berbagai sumber hanya disebutkan bahwa kolektor kepustakaan dan pemiliknya membangun sendiri perpustakaannya dan mengelola sendiri kepustakaannya, sehingga pemilik kepustakaan merangkap sebagai pustakawan.
Sumber:
Muhammad Mahir Hamadah, al-Maktabat fi al-Islam, hlm. 95.
S.M. Imamuddin, Some Leading Muslim Libraries....., hlm. 43.
Semangat Keilmuan dan Produktifitas Karya
Seorang penulis dalam bidang keislaman dan kebudayaan dapat menghasilkan puluhan bahkan ratusan karya yang berbeda-beda. al-Waqidi, seorang penulis hadith dan sejarah konon menghasilkan karya sekitar 400 karya selama hidupnya di Baghdad. Dia adalah seorang Qadhi (Hakim) pada masa Khalifah al-Mahdi sampai dengan Khalifah al-Ma’mun, sehingga hubungannya cukup dekat dengan para khalifah Abbasiyah. Ibn Sa’ad, murid dan sekretaris al-Waqidi juga menghasilkan karya besar al-Tabaqat dalam puluhan volume yang karyanya sampai kepada kita. Al-Tabari juga demikian, bahkan beliau mampu menulis 40 lembar setiap harinya. Karyanya meliputi berbagai bidang keislaman; Tafsir, Qira’at, Teologi (Ilmu Kalam) Fiqh, Sirah al-Nabi dan sejarah universal.
Sumber:
Mahir Hamadah, al-Maktabat fi al-Islam, hlm. 63
Tradisi Penerjemahan & Jaringan Kebudayaan (keilmuan) Timur-Barat
Penerjemahan sering juga disebut penukilan, pengalihan bahasa dalam tradisi keilmuan dan berbagai bidangnya dari bahasa asing kepada bahasa Arab untuk kepentingan kepustakaan Islam. Tradisi ini berbeda dengan tradisi pengkisahan, periwayatan dan pencatatan yang sebelumnya berkembang dalam masyarakat Muslim Arab. Tradisi penerjemahan adalah pengadopsian keilmuan dari luar Arab (Yunani, Persia, Romawi, India dll.) melalui kreatifitas pengalihan bahasa, sehingga terjadi transfer ilmu pengetahuan dan kebudayaan melalui bahasa Arab untuk kepentingan khazanah keilmuan dalam daulah Islam. Semua peradaban besar di Timur melakukan proses ini, baik Daulah Abbasiyah, Daulah Bani Umayyah (di Syiria dan Andalusia), bahkan Kerajaan Persia sebelum Islam. Daulah Bani Daulah Abbasiyah, semenjak masa Khalifah al-Mansur telah menggalakkan tradisi ini, dengan penekanan pada filsafat dan kedokteran.
Meskipun awal tradisi penerjemahan kitab-kitab dan buku-buku Yunani ke dalam bahas Arab masa Daulah Abbasiyah telah dimulai sejak masa Khalifah ke dua, al-Mansur, (136 – 148 H.). Beliau telah memulai aktifitas penerjemahan dan pengoleksian buku-buku Yunani dan Persia. Selain Filsafat Yunani, kesusasteraan dan kedokteran merupakan bidang keilmuan yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Persia. Namun kemajuannya terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan puncaknya terjadi pada Khalifah al-Ma’mun. Pada masa keduanya perbagai ilmu pengetahuan baik dari Yunani, Persia, Romawi maupun Syirian-Nestorian ditransfer ke daulah Islam melalui penerjemahan.
Daulah Bani Umayyah, baik yang di Timur (Syiria) maupun yang di Barat (Andalusia) sama-sama menjadikan tradisi penerjemahan sebagai sarana pengembangan keilmuan dan kepustakaan. Sebenarnya daulah ini (khususnya yang di Syiria) telah lebih dahulu melakukan tradisi penerjemahan ini, yaitu semenjak sekitar paruh kedua abad ke-1 H./7 M., jauh sebelum masa daulah Abbasiyah, melalui inisiatif Khalid Bin Yazid Bin Mu’awiyah (60 – 63 H.), yang telah mempeloporinya dengan menerjemahkan buku-buku dari Filsafat Hellenistik dari Yunani seperti yang telah diulas dalam makalah sebelumnya. Jauh sebelum Daulah Bani Umayyah, Kerajaan (Kekaisaran) Persia telah lebih dahulu melakukan tradisi penerjemahan ini, yaitu pada masa Raja Anushirwan, yang terkenal cinta ilmu, adil dan bijak. Akademi Jundi Shapur adalah sebuah akademi yang menjadi pusat keilmuan Persia (Sassanian) pada masa kejayaannya sebelum kedatangan agama Islam.
Tradisi penerjemahan dilakukan di bawah sebuah tim yang diketuai oleh seorang ketua /staf ahli penerjemah. Pada masa Khalifah al-Mansur, staf ahli penerjemah yang dipilih dari tenaga profesional dan diangkat langsung oleh khalifah. Di bawahnya terdapat beberapa orang pembantu penerjemahan. Adakalanya staf ahli penerjemah juga seorang direktur perpustakaan, namun pada umumnya mereka mengurusi buku-buku yang diimpor dari luar negara untuk dialih bahasakan ke dalam bahasa Arab. Tidak jarang pula seorang staf ahli penerjemah menjadi agen resmi pemerintah untuk mendapatkan buku-buku dari luar negeri (Arab), sehingga sangat mungkin jaringannya luar negerinya cukup luas. Demikian juga dengan direktur perpustakaan. Namun di luar peran keduanya, adakalanya buku-buku kepustakaan dari luar negeri diperoleh melalui delegasi yang ditugaskan oleh khalifah untuk memperoleh buku-buku yang diperlukan dari luar. Sebagaimana dinyatakan oleh Pedersen, Khalifah al-Ma’mun, memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan Raja Byzantium, sehingga delegasi yang diutusnya ke Yunani berhasil membawa sejumlah buku Yunani untuk diterjemahkan. Demikian juga diriwayatkan bahwa Khalifah al-Ma’mun memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Romawi. Hubungan yang baik di antara kedua kerajaan ini, misalnya ditunjukkan oleh Khalifah al-Ma’mun dengan sering melakukan hubungan korespondensi (surat-menyurat) kepada Raja Romawi untuk kepentingan penerjemahan buku-buku kuno Romawi yang tersimpan dalam kepustakaan Romawi untuk dialih-bahasakan ke dalam bahasa Arab. Raja Romawi kemudian meresponnya secara positif, meskipun sebelumnya tidak diperkenankan, dengan memberikan ijin penerjemahan buku-buku yang diperlukannya.
Sumber:
Mehdi Nekosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat ; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hlm. 252-253.
J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, hlm. 150.
Mahir Hamadah, al-Maktabat fi al-Islam, hlm. 59.