Kamis, 30 Desember 2010

Tradisi Tulisan Berawal dari penulisan Al-Qur’an

Masa pra Islam (Jahiliyah) masih ditandai oleh tradisi lisan, yang mana (kuatnya) penghafalan melalui periwayatan, tradisi-tradisi lokal yang berkembang seperti syair, ayyam al-‘Arab dan al-Ansab dilestarikan secara oral oleh pelbagai suku sebagai budaya warisan yang telah melekat dalam lingkup masyarakat suku masa itu. Hal ini tidak berarti bahwa pada masa pra Islam tidak ada catatan-catatan tertulis sama sekali. Beberapa tulisan, baik karena tradisi keagamaan, seperti dalam konteks kitab Perjanjian Lama (Taurah) maupun kitab Perjanjian Baru (Injil), beberapa prasasti peninggalan Arab kuno zaman Nabi-nabi terdahulu dan beberapa ahli sejarah bangsa Arab dari Arab Selatan, Yaman, telah menunjukkan adanya tradisi tulisan pada masa pra Islam.

Secara resmi, masa awal Islam mengawali tradisi tulisan melalui wahyu al-Quran dan Hadith Nabi s.a.w., meskipun yang kedua lebih belakangan daripada yang pertama. Pada masa Nabi Muhammad s.a.w. wahyu al-Quran itu telah mulai ditulis, meskipun tulisannya masih berserakan (belum tersusun). Pelapah kurma, kulit-kulit binatang yang halus dan batu-batu/tulang-tulang menajdi wadah/tempat dimana al-Quran ditulis pada masa tersebut. Tradisi penulisan ini sendiri bardasarkan perintah Nabi Muhammad s.a.w. agar menuliskan al-Quran. Ini adalah tahap pertama penulisan yang di masa jahiliyah belum menjadi tradisi, kecuali pada masa Arab kuno, Arab Selatan yang banyak meninggalkan bangunan-bangunan peradaban dan tradisi bangsa Arab yang sebagiannya tertulis di batu-batu nisan, prasasti dll.
Maka dibentuklah kepanitiaan penulisan wahyu dibawah pimpinan Sahabat Zaid Bin Thabit r.a.Setelah Abu Bakar wafat, mushaf itu disimpan oleh Khalifah Umar pada putrinya Hafsah. Pada masa Khalifah Uthman Bin ‘Affan, mushaf yang ada ditangan putri Amir al-Mu’minin Umar Bin Khattab tersebut disimpan kemudian disebar-luaskan ke wilayah-wilayah Islam yang sudah tersebar-luas, khususnya Hijaz (Mekah-Madinah), Iraq, Mesir, dan Syiria. Sebelum menyebarkan mushaf tersebut, beliau memberlakukan satu peraturan agar bacaan al-Quran mengikuti satu mushaf yang diakui secara resmi, yaitu Mushaf Khalifah Uthman yang disebut sebagai Mushaf al-Imam. Ini dilakukan karena banyak dan beragamnya bacaan al-Quran pada masa Khalifah Uthman akibat perluasan wilayah dan beragamnya dialek suku Arab dan etnis luar Arab yang memeluk Islam dalam pembacaan al-Quran, sehingga muncul Qiraah Sab’ah (Bacaan al-Quran berdasarkan tujuh versi). al-Quran yang sampai kepada kita sekarang juga mushaf Uthmani.

Tradisi Penulisan Hadith dan Awal Kemunculan Kepustakaan Islam
Meskipun secara resmi hadith baru dikodifikasi pada jaman akhir Daulah Bani Umayyah, yaitu akhir abad ke-1 H. dan awal abad ke-2 H., tepatnya ketika Khalifah Umar Bin Abdul Aziz memerintah (99 – 101 M.). Namun fakta ini tidak berarti bahwa hadith sebelum masa itu belum pernah ditulis.
Sebenarnya sejak masa awal sahabat Nabi s.a.w., atau bahkan sejak masa akhir kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. telah mulai ada tradisi pencatatan hadith-hadith Nabi Muhammad s.a.w. Akan tetapi penulisan masa itu masih berupa aktifitas individual (belum ada perintah resmi). Diriwayatkan bahwa Abdullah Bin Abbas punya catatan hadith tersendiri, demikian juga Abdullah Bin Umar, secara individu, telah mencatat/menuliskan hadith-hadith Nabi s.a.w. dalam catatannya tersendiri. Kedua sahabat Nabi Muhammad s.a.w. ini sangat boleh jadi menuliskan hadith-hadithnya semenjak masa Nabi Muhammad s.a.w.
Selain hadith, penulisan tentang peristiwa-peristiwa bersejarah juga telah ditulis masa Nabi Muhammad s.a.w. dalam wujud shahifah atau shuhuf (lembaran-lembaran). Seperti penulisan tentang Piagam Madinah, penulisan tentang surat-surat Nabi kepada raja-raja di Arab dan luar Arab (Raja Qibti (Mesir), Raja Persia (Sasania), dll. Ada juga diriwayatkan pada masa Fath Makkah penulisan tentang diharamkannya pembunuhan. Diriwayatkan bahwa pada waktu peristiwa Fath Makkah (Pembukaan Kota Mekah), Suku Khaza’ah membunuh salah-seorang dari Suku Bani Laith. Khabar ini sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w. sehingga Nabi s.a.w. pergi berkendaraan unta, lalu berpidato tentang haramnya pembunuhan khususnya di kota Mekah. Kemudian seorang lelaki dari Yaman memohon kepada Nabi s.a.w. agar menuliskan hukum larangan itu. Lalu Rasulullah s.a.w. memerintahkan sahabatnya, “Tuliskanlah (hukum pengharaman itu) untuk bapak ini (yang memohon dituliskan).
Masa sahabat Nabi, meskipun belum secara resmi, dapat dikatakan sebagai masa awal penulisan kitab dan buku-buku keislaman. Selain al-Qur’an yang selesai dijadikan dikodifikasi secara resmi dengan mushaf al-Imam pada masa Khalifah Uthman Bin Affan-proses sebelumnya telah mulai pada masa Khalifah Abu Bakar al-Siddiq-kitab hadith berhasil ditulis oleh Abdullah Bin Umar dan Kitab Faraid (hukum waris Islam) ditulis oleh Zaid Bin Thabit. Ada juga diriwayatkan bahwa pada masa Khalifah Umar Bin Khattab r.a. memerintah (13 – 23 H.) telah banyak sekali buku-buku ditulis dan disodorkan kepada beliau untuk diseleksi, mengenai buku-buku yang patut untuk disebar-luaskan, sehingga beliau kewalahan memeriksanya.
Beberapa putra sahabat Nabi Muhammad s.a.w., selain Abdullah Bin Umar Bin Khattab, seperti Abban Bin Uthman Bin Affan dan Urwah Bin Zubair Bin Awam sama-sama menulis hadith Nabi Muhammad s.aw., khususnya hadith-hadith berkaitan dengan sirah al-Nabi (biografi Nabi Muhammad s.a.w. dan al-maghazi (peperangan-peperangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.) untuk melestarikan peristiwa-peristiwa penting masa Nabi Muhammad s.a.w. Kedua karya tokoh tabi’in putra-putra sahabat Nabi Muhammad s.a.w. ini, meskipun karyanya tidak sampai kepada kita, namun keduanya telah menjadi pelopor dalam penulisan tema sirah al-Nabi dan al-maghazi, yang kemudian dikembangkan oleh generasi berikutnya, seperti Muhammad Bin Sihab al-Zuhri dan Ibn Ishaq dalam tema yang sama.

Sumber:
Muhammad Mahir Hamadah, Dr., al-Maktabat fi al-Islam;Nasy’atuha Watathawuruha Wamashairuha, (Beirut : Muasasah al-Risalah, 1981), hlm. 14.

Tidak ada komentar: